Malam kian kelabu menyelimuti Desa Basukih, sang Bulanpun
tampak malu-malu menunjukan sinarnya
makin membuat malam kian kelabu, sekelabu hati Wawan yang tengah
termenung di teras pojok. Sekali-kali
tetesan hujan jatuh tanda sang Langit turut merasakan kesedihan yang dialami
Wawan, Yang ia pikirkan hanyalah perihal mengenai sang Anak yang akhir-akhir
ini sering berbuat aneh di luar kebiasaannya , seperti hari kemarin bagaikan
petir di siang bolong Wawan begitu terpukul mendengar berita dari teman sekolahnya anaknya bahwa anaknya bolos
sekolah ketika penerimaan raport selain itu juga Seorang tukang pos pernah
datang ke Rumahnya untuk mengembalikan surat karena tidak berisi alamat tujuan
pak Pos tersebut mengatakan bahwa anaknyalah yang mengirim surat dengan alamat
kosong tersebut, tidak hanya itu saja
sang anak juga sering mengurung diri di kamar dan yang lebih parah lagi sang
anak kedapatan menkonsumsi obat penenang . semua hal yang dilakukan anaknya
sungguh bertentangan dengan kesehariannya. “mungkinkah ini terjadi setelah ia
di tinggal Ibunya?????” gumam wawan. Hatinya begitu kacau tanpa tersadar tetes
demi tetes air mata membasahi pipinya. “ Ya Tuhan apakah ini merupakan karma?
Jika ini memang karma yang mesti hamba terima, hamba rela. Tapi berikanlah
hambamu ini kekuatan untuk menghadapinya ya Tuhan” hatinya semakin jadi tak
menentu ingin sekali Rasanya untuk langsung menghadap Tuhan dan memberikan hati
nuraninya langsung supaya tidak perlu lagi menjelaskan panjang lebar persoalan hidup yang seakan tiada
henti-hentinya mencekram , menusuk
bahkan meremukan pikirannya.
Jam terus berdetak tanda sang waktu terus berjalan , angin
malam berhembus merasuk hingga ke tulang
sumsum. Dilihatnya jam dinding jarum pendek menunjuk angka 12, berarti sudah 3
jam lebih ia menangis dan berdoa. Dengan langkah gontai dan terseok-seok ia
paksakan kakinya untuk melangkah menuju kamarnya. Kemudian ia rebahkan tubuhnya
ia pejamkan matanya semakin ia pejamkan matanya semakin ia ingat akan kenangan
ketika mereka sekeluarga memancing di Danau , dengan beralasan karpet merah
dengan ditemani api unggun, tidak lupa juga mereka membawa bekal piknik . Wawan
yang memang hobi memancing tidak lupa membawa alat-alat pancing, semua sudah di
persiapkannya dari rumah ia beranjak menuju danau ia lemparkan kail ke danau
dengan sabar ia menunggu umpannya di sambar ikan. Tak berapa lama menunggu
tampak kail yang di pegang wawan bergerak tanda umpan telah dimakan ikan, dengan sekuat tenaga ia
tarik kailnya dan Senyum semringah menghias wajahnya. Ikan Mujair besar
menggelepar tak berdaya . ia panggilkan istrinya untuk membantu dengan sigap si
Istri berlari untuk membantu Suaminya hingga ia tak menyadari Batu besar telah menghadang langkah kakinya yang membuat keseimbangannya
goyah dan kepalanya menabrak batu cadas
yang ada di depannya . Sudah jatuh tertimba tangga pula ia malah tercebur ke
danau, perlahan-lahan Danau tersebut berubah jadi merah Wawan tampak tak
percaya dengan apa yang dilihatnya ia termenung bagai patung hingga jerit
tangis anaknya menyadarkannya. Ia terkesiap dan tanpa basa-basi lagi ia
ceburkan dirinya ke danau untuk menyelamatkan istrinya, ia angkat istrinya dari
danau dan langsung direbahkannya tubuh yang tak berdaya tersebut di cek napas dan
nadinya yang tidak ada pergerakan ia tekan-tekan perut istrinya seperti film
perang yang ia sering tonton tapi takdir berkata lain, Sang istri
telah berpulang kea lam keabaian. Anaknya terus menjerit memecahkan telinga,
air matanya membanjiri pipinya.
Wawan terkesiap matanya melotot mulutnya mengangga ia tidak
mau lagi mengingat masa itu tetapi semakain ia ingin melupakannya justru ia
semakin mengingat kejadian tersebut. Di
kamar yang dulunya menjadi tempat peristirahatannya kini telah menjadi penjara
ya penjara kesunyian bahkan hingga Sang surya menapakan sinarnya belum juga
bisa memejamkan matanya barang sejenak . kepalanya terasa pecah karena berlama-lama
berdiam diri di kamar, ia paksakan untuk bangun . badannya serasa remuk karena
kelelahan yang amat sangat dengan berjalan terseok-seok, mata yang merah
menggelembung ia menyeret-nyeret kakinya menuju dapur. Ia ingin membuat
secangkir kopi sekedar untuk meringankan sakit kepalanya , ia buka keran air ,
air yang jatuh ia bilaskan ke mukanya dengan harapan mampu menyegarkan otot
wajahnya. Kemudian ia ambil ketel untuk menampung airnya setelah ketel setengah
penuh ia taruh di atas kompor dan ia hidupkan apinya sembari menunggu air masak
ia mengambil cangkir ia campurkan kopi
dengan gula berbanding 1 banding 3
sampai airnya matang ia tuangkan kedalam cangkir diaduknya beberapa kali
kemudian ia cicipi dan ternyata kopi yang berisi 3 sendok gula terasa pahit ia
tambahkan lagi sebanyak 1 sendok tapi nihil masih serasa pahit padahal dulu
kopi tanpa gulapun terasa manis tatkala kopi dihidangkan oleh istrinya ditemani
senyum manis yang menghiasi wajah cantiknya tapi kini semua organ tubuh dan
indranya seakan sudah mati. ia bagaikan
mayat hidup yang tidak dapat lagi merasakan keindahan rasa di dunia ini. Ia paksakan
menenggak kopi sambil melangkah ke ruang tamu ia rebahkan tubuhnya di kursi
goyang kesayangannya. Kini ia kembali
merenung karena tidak ada lagi yang akan membuatkannya kopi manis, taka ada
lagi yang menyiapkan air hangat untuk di
pakai mandi dan tak ada lagi wajah
cantik yang membuat suasana rumah terasa indah. Dengan suara parau ia panggil
anaknya yang sedari tadi belum menunjukan batang hidungnya . pintu kamar sang
anakpun terbuka dengan senyum sayu ia hampiri Ayahnya . Wawanpun menyuruh anaknya
untuk duduk di sampingya sembari mengelus kepala sang anak. “ nak apa kamu
benci sama ayah?”. “kenapa aku mesti benci sama ayah , ayah adalah orang yang
paling ku kagumi di dunia ini ayah
adalaha orang yang tegar , ayah juga memiliki cinta yang besar terhadap
aku”balas anaknya. “lantas kenapa sejak di tinggalkan ibu akhir-akhir ini
sikapmu Nampak aneh” sikapku yang mana Yah?”Tanya anaknya tak mengerti. “tolong
di jawab dengan jujur! Kenapa sewaktu penerimaan raport hasil belajar kau malah
bolos sekolah temanmu anto yang bilang begitu kepada Ayah?”Tanya wawan.
“maafkan aku Yah, bukannya aku bermaksud seperti itu?”. “lantas apa
maksudmu?”Tanya wawan cepat. “begini Yah Bu Yuli wali kelasku mengatakan Raport
Hasil belajar agar di ambil oleh Ibu dari masing-masing siswa karena kebetulan
bertepatan dengan hari Ibu, untuk itulah aku tidak mau melihat Ayah bersedih
karena teringat akan ibu lagi untuk itulah sebabnya aku lebih memilih tidak
mengambil rapot saja!”aku anaknya. Wawan terkejut mendengar pengakuan dari
anaknya, hatinya luruh air matanya sekuat tenaga ia bendung. “lantas kenapa kau
juga sering mengirim surat ke kantor pos akan tetapi dengan alamat yang
kosong?” Tanya Wawan dengan suara parau “Ayah tahukah perasaanku saat ini? Aku
rindu sekali senyuman Malaikat yang telah melahirkanku, Aku selalu
terbayang-bayang wajah IBu aku rindu,rindu setengah mati ingin sekali rasanya
mengirimi ibu surat di Surga tapi aku tidak tahu alamatnya Yah?”jawab jujur
anaknya dengan kepala yang tertunduk. Akhirnya air mata yang sedari tadi
ditahan Wawan kini jebol sudah, ibarat air danau yang tumpah akibat bendungan
yang jebol yang siap meluluhlantakan apa yang ada di depannya. Dengan sekuat
tenaga dan suara paraunya dipaksakaan kembali suaranya untuk menanyai lagi
anaknya “dan yang terakhir kenapa kau sering mengurung diri di kamar dan
meminum obat penenang?”,”ayah selama kehilangan Ibu hatiku terasa di penjara,
aku selalu merasakan kedinginan yang tidak aku bisa jelaskan aku terjebak di
penjara kesunyian yah, bahkan dalam mimpipun kehampaan masih saja menggelayut dan
merasuk pikiranku. Ku pikir dengan minum obat penenang semua akan baik tetapi tetap saja aku tidak bisa mengusir
kehampaan di hatiku”. Meledak sudah emosi Wawan ia bahkan tak kuasa sekedar
untuk berdiri kakinya lemas, kemudian ia peluk anaknya erat.
Dalam tangis Wawan berkata, “nak Ibumu sudah tiada dan badan
kasarnyapun telah musnah tapi selama kita punya hati maka jiwa kita selamanya
akan bersatu!” “Ibumumu sekarang tinggal disini nak!” wawan menunjuk dada
sebelah kiri anaknya, “nak ketahuilah sekarang kau tidak sendirian karena kau
masih punya Ayah, Ayah tidak bisa menjanjikan mu materi yang melimpah hanya
kebersamaanlah yang dapat ayah janjikan kepadamu!” mendengar pernyataan dari
Wawan anaknya terkejut ia baru menyadari bahwa ia masih beruntung karena masih
memiliki sosok ayah yang patut dibanggakan selama ini ia kira hanya kasih dari
Ibunya saja yang membuatnya dapat menjadi sekarang ini. Akan tetapi kasih Ibu
tanpa Disertai kasih saying seorang ayah akan hambar rasanya, Ayahnya yang
terlihat tegar selama ini ternyata memiliki hati yang lembut jua. Dalam
tangisannya anaknya berkata “ayah aku sudah kehilangan ibuku aku tidak mau lagi
kehilangan Ayah yang aku cintai” kata anaknya jujur. Setelah mengatakan hal tersebut
Pikiran hampa yang selama ini bergelayut
dan menghantui pikiran anaknya seakan disinari kembali akan cahaya kasih yang
terang dan lembut hingga membuat kegelapan hati yang dialami anaknya tak lagi
gelap, perasaannya lega ingin sekali rasanya terbang ke angkasa dengan perasaan
seperti itu. Dalam haru Wawan berkata dalam hati “Terimaksaih Tuhan ternyata
anakku teteaplah anakku bukan orang lain yang selama ini kubayangkan!” dengan
senyuman yang sumringah wawan kembali lagi meneguk kopi yang sudah mulai agak
mendingin, ia terkejut karena kopi berisi 2 sendoh teh makan gula yang tadinya
pahit ia rasakan kini berubah menjadi manis semanis senyuman anaknya.
0 comments:
Post a Comment