Tuesday, March 19, 2013

Nilai Sebuah Kasih Sayang


Malam kian kelabu menyelimuti Desa Basukih, sang Bulanpun tampak malu-malu menunjukan sinarnya  makin membuat malam kian kelabu, sekelabu hati Wawan yang tengah termenung di teras pojok.  Sekali-kali tetesan hujan jatuh tanda sang Langit turut merasakan kesedihan yang dialami Wawan, Yang ia pikirkan hanyalah perihal mengenai sang Anak yang akhir-akhir ini sering berbuat aneh di luar kebiasaannya , seperti hari kemarin bagaikan petir di siang bolong Wawan begitu terpukul mendengar berita dari  teman sekolahnya anaknya bahwa anaknya bolos sekolah ketika penerimaan raport selain itu juga Seorang tukang pos pernah datang ke Rumahnya untuk mengembalikan surat karena tidak berisi alamat tujuan pak Pos tersebut mengatakan bahwa anaknyalah yang mengirim surat dengan alamat kosong tersebut,  tidak hanya itu saja sang anak juga sering mengurung diri di kamar dan yang lebih parah lagi sang anak kedapatan menkonsumsi obat penenang . semua hal yang dilakukan anaknya sungguh bertentangan dengan kesehariannya. “mungkinkah ini terjadi setelah ia di tinggal Ibunya?????” gumam wawan. Hatinya begitu kacau tanpa tersadar tetes demi tetes air mata membasahi pipinya. “ Ya Tuhan apakah ini merupakan karma? Jika ini memang karma yang mesti hamba terima, hamba rela. Tapi berikanlah hambamu ini kekuatan untuk menghadapinya ya Tuhan” hatinya semakin jadi tak menentu ingin sekali Rasanya untuk langsung menghadap Tuhan dan memberikan hati nuraninya langsung supaya tidak perlu lagi menjelaskan panjang lebar   persoalan hidup yang seakan tiada henti-hentinya  mencekram , menusuk bahkan meremukan pikirannya.
Jam terus berdetak tanda sang waktu terus berjalan , angin malam  berhembus merasuk hingga ke tulang sumsum. Dilihatnya jam dinding jarum pendek menunjuk angka 12, berarti sudah 3 jam lebih ia menangis dan berdoa. Dengan langkah gontai dan terseok-seok ia paksakan kakinya untuk melangkah menuju kamarnya. Kemudian ia rebahkan tubuhnya ia pejamkan matanya semakin ia pejamkan matanya semakin ia ingat akan kenangan ketika mereka sekeluarga memancing di Danau , dengan beralasan karpet merah dengan ditemani api unggun, tidak lupa juga mereka membawa bekal piknik . Wawan yang memang hobi memancing tidak lupa membawa alat-alat pancing, semua sudah di persiapkannya dari rumah ia beranjak menuju danau ia lemparkan kail ke danau dengan sabar ia menunggu umpannya di sambar ikan. Tak berapa lama menunggu tampak kail yang di pegang wawan bergerak tanda umpan  telah dimakan ikan, dengan sekuat tenaga ia tarik kailnya dan Senyum semringah menghias wajahnya. Ikan Mujair besar menggelepar tak berdaya . ia panggilkan istrinya untuk membantu dengan sigap si Istri berlari untuk membantu Suaminya hingga ia tak menyadari Batu besar telah menghadang  langkah kakinya yang membuat keseimbangannya goyah dan kepalanya  menabrak batu cadas yang ada di depannya . Sudah jatuh tertimba tangga pula ia malah tercebur ke danau, perlahan-lahan Danau tersebut berubah jadi merah Wawan tampak tak percaya dengan apa yang dilihatnya ia termenung bagai patung hingga jerit tangis anaknya menyadarkannya. Ia terkesiap dan tanpa basa-basi lagi ia ceburkan dirinya ke danau untuk menyelamatkan istrinya, ia angkat istrinya dari danau dan langsung direbahkannya tubuh yang tak berdaya tersebut di cek napas dan nadinya yang tidak ada pergerakan ia tekan-tekan perut istrinya seperti film perang  yang ia sering  tonton tapi takdir berkata lain, Sang istri telah berpulang kea lam keabaian. Anaknya terus menjerit memecahkan telinga, air matanya membanjiri pipinya.
Wawan terkesiap matanya melotot mulutnya mengangga ia tidak mau lagi mengingat masa itu tetapi semakain ia ingin melupakannya justru ia semakin mengingat kejadian tersebut.  Di kamar yang dulunya menjadi tempat peristirahatannya kini telah menjadi penjara ya penjara kesunyian bahkan hingga Sang surya menapakan sinarnya belum juga bisa memejamkan matanya barang sejenak . kepalanya terasa pecah karena berlama-lama berdiam diri di kamar, ia paksakan untuk bangun . badannya serasa remuk karena kelelahan yang amat sangat dengan berjalan terseok-seok, mata yang merah menggelembung ia menyeret-nyeret kakinya menuju dapur. Ia ingin membuat secangkir kopi sekedar untuk meringankan sakit kepalanya , ia buka keran air , air yang jatuh ia bilaskan ke mukanya dengan harapan mampu menyegarkan otot wajahnya. Kemudian  ia ambil ketel  untuk menampung airnya setelah ketel setengah penuh ia taruh di atas kompor dan ia hidupkan apinya sembari menunggu air masak ia mengambil cangkir ia campurkan kopi  dengan gula berbanding 1 banding 3  sampai airnya matang ia tuangkan kedalam cangkir diaduknya beberapa kali kemudian ia cicipi dan ternyata kopi yang berisi 3 sendok gula terasa pahit ia tambahkan lagi sebanyak 1 sendok tapi nihil masih serasa pahit padahal dulu kopi tanpa gulapun terasa manis tatkala kopi dihidangkan oleh istrinya ditemani senyum manis yang menghiasi wajah cantiknya tapi kini semua organ tubuh dan indranya seakan sudah mati.  ia bagaikan mayat hidup yang tidak dapat lagi merasakan keindahan rasa di dunia ini. Ia paksakan menenggak kopi sambil melangkah ke ruang tamu ia rebahkan tubuhnya di kursi goyang kesayangannya. Kini  ia kembali merenung karena tidak ada lagi yang akan membuatkannya kopi manis, taka ada lagi yang menyiapkan  air hangat untuk di pakai mandi dan tak  ada lagi wajah cantik yang membuat suasana rumah terasa indah. Dengan suara parau ia panggil anaknya yang sedari tadi belum menunjukan batang hidungnya . pintu kamar sang anakpun terbuka dengan senyum sayu ia hampiri Ayahnya . Wawanpun menyuruh anaknya untuk duduk di sampingya sembari mengelus kepala sang anak. “ nak apa kamu benci sama ayah?”. “kenapa aku mesti benci sama ayah , ayah adalah orang yang paling  ku kagumi di dunia ini ayah adalaha orang yang tegar , ayah juga memiliki cinta yang besar terhadap aku”balas anaknya. “lantas kenapa sejak di tinggalkan ibu akhir-akhir ini sikapmu Nampak aneh” sikapku yang mana Yah?”Tanya anaknya tak mengerti. “tolong di jawab dengan jujur! Kenapa sewaktu penerimaan raport hasil belajar kau malah bolos sekolah temanmu anto yang bilang begitu kepada Ayah?”Tanya wawan. “maafkan aku Yah, bukannya aku bermaksud seperti itu?”. “lantas apa maksudmu?”Tanya wawan cepat. “begini Yah Bu Yuli wali kelasku mengatakan Raport Hasil belajar agar di ambil oleh Ibu dari masing-masing siswa karena kebetulan bertepatan dengan hari Ibu, untuk itulah aku tidak mau melihat Ayah bersedih karena teringat akan ibu lagi untuk itulah sebabnya aku lebih memilih tidak mengambil rapot saja!”aku anaknya. Wawan terkejut mendengar pengakuan dari anaknya, hatinya luruh air matanya sekuat tenaga ia bendung. “lantas kenapa kau juga sering mengirim surat ke kantor pos akan tetapi dengan alamat yang kosong?” Tanya Wawan dengan suara parau “Ayah tahukah perasaanku saat ini? Aku rindu sekali senyuman Malaikat yang telah melahirkanku, Aku selalu terbayang-bayang wajah IBu aku rindu,rindu setengah mati ingin sekali rasanya mengirimi ibu surat di Surga tapi aku tidak tahu alamatnya Yah?”jawab jujur anaknya dengan kepala yang tertunduk. Akhirnya air mata yang sedari tadi ditahan Wawan kini jebol sudah, ibarat air danau yang tumpah akibat bendungan yang jebol yang siap meluluhlantakan apa yang ada di depannya. Dengan sekuat tenaga dan suara paraunya dipaksakaan kembali suaranya untuk menanyai lagi anaknya “dan yang terakhir kenapa kau sering mengurung diri di kamar dan meminum obat penenang?”,”ayah selama kehilangan Ibu hatiku terasa di penjara, aku selalu merasakan kedinginan yang tidak aku bisa jelaskan aku terjebak di penjara kesunyian yah, bahkan dalam mimpipun kehampaan masih saja menggelayut dan merasuk pikiranku. Ku pikir dengan minum obat penenang semua akan baik  tetapi tetap saja aku tidak bisa mengusir kehampaan di hatiku”. Meledak sudah emosi Wawan ia bahkan tak kuasa sekedar untuk berdiri kakinya lemas, kemudian ia peluk anaknya erat.
Dalam tangis Wawan berkata, “nak Ibumu sudah tiada dan badan kasarnyapun telah musnah tapi selama kita punya hati maka jiwa kita selamanya akan bersatu!” “Ibumumu sekarang tinggal disini nak!” wawan menunjuk dada sebelah kiri anaknya, “nak ketahuilah sekarang kau tidak sendirian karena kau masih punya Ayah, Ayah tidak bisa menjanjikan mu materi yang melimpah hanya kebersamaanlah yang dapat ayah janjikan kepadamu!” mendengar pernyataan dari Wawan anaknya terkejut ia baru menyadari bahwa ia masih beruntung karena masih memiliki sosok ayah yang patut dibanggakan selama ini ia kira hanya kasih dari Ibunya saja yang membuatnya dapat menjadi sekarang ini. Akan tetapi kasih Ibu tanpa Disertai kasih saying seorang ayah akan hambar rasanya, Ayahnya yang terlihat tegar selama ini ternyata memiliki hati yang lembut jua. Dalam tangisannya anaknya berkata “ayah aku sudah kehilangan ibuku aku tidak mau lagi kehilangan Ayah yang aku cintai” kata anaknya jujur. Setelah mengatakan hal tersebut Pikiran hampa  yang selama ini bergelayut dan menghantui pikiran anaknya seakan disinari kembali akan cahaya kasih yang terang dan lembut hingga membuat kegelapan hati yang dialami anaknya tak lagi gelap, perasaannya lega ingin sekali rasanya terbang ke angkasa dengan perasaan seperti itu. Dalam haru Wawan berkata dalam hati “Terimaksaih Tuhan ternyata anakku teteaplah anakku bukan orang lain yang selama ini kubayangkan!” dengan senyuman yang sumringah wawan kembali lagi meneguk kopi yang sudah mulai agak mendingin, ia terkejut karena kopi berisi 2 sendoh teh makan gula yang tadinya pahit ia rasakan kini berubah menjadi manis semanis senyuman anaknya.

Newer Post Older Post Home

0 comments:

Post a Comment

Share With

Twitter Google Plus Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Total Pengunjung Minggu Ini